Posts

Showing posts from 2020

Onggrongan

"Onggrongan.." celetukan seorang teman menimpali percakapan saya dengan seorang kawan lain. Bukan tanpa maksud ia menimpali demikian, sebab dia tahu betul dua orang yang sedang bercakap2 itu merupakan penutur asli kata yang bermakna berlebih-lebihan itu. Onggrongan, kata ini dituturkan oleh masyarakat pantura plat g dari Pekalongan hingga Tegal dan sekitarannya. Tentu ada sebab mengapa suatu bisa sampai muncul dan digunakan oleh suatu kelompok masyarakat. Dan teori saya, kata onggrongan ini muncul karena keadaan sosiologis masyarakat pantura. Jauh dari ingar bingar keraton membuat kawasan di tepi laut Jawa bagian tengah ini tidak begitu dilirik. Tanpa adanya perhatian itulah mentalitas orang pantura di kawasan eks karesidenan Pekalongan terbentuk. Mereka cenderung mencari perhatian. Bagi orang2 yang besar di kawasan ini tentu tahu benar tabiat onggrongan. Pelakunya akan melakukan apa saja untuk mendapatkan perhatian, tertawaan, sampai cemoohan. Saya pernah menyaksikan

Pake Make

Apa panggilan kalian untuk orangtua? Saya sejak kecil menyebut ibu bapak dengan make pake. Seksi bukan? Tumbuh di lingkungan kelas pekerja, hampir tidak ada anak2 dari keluarga buruh yang memanggil orangtuanya dengan bapak ibu, ayah bunda, apa lagi papa mama. Segelintir saja bisa didapati kawan yang memanggil ibu bapak, dan itu biasanya mererek dari kalangan pegawai negeri sipil. Banyak kawan merasa gengsi dengan ini, sehingga mereka memilih menyebut kata bapak ibu saat bercakap2 dengan teman dari luar daerah. Saya sih santai2 saja, menurut saya tampang dan latar belakang saya dan kami orang Comal tidak cocok untuk memunculkan sosok bersapaan bapak ibu papa mama. Memakai pake make, maka itu sudah cukup menunjukkan jatidiri kami. Namun sayang, semakin ke sini semakin kecil kesadaran orang untuk menggunakan pake make untuk memanggil orang tua. Para orangtua dari generasi yang lebih muda cenderung memilih ayah bunda dan papa mama, termasuk bapak ibu yang jumlahnya juga semakin sed

Tips Membaca Seperti Hatta

Hari ini saya diliburkan. Pagi2 sekali bos menelepon dan bilang jadwal membungkus kopi diganti Selasa besok karena ada masalah pada mesin. Posisi saya sudah siap, rapi, bekal sudah masuk tas, terpaksa batal berangkat. Saya putuskan untuk melanjutkan kegiatan membaca, yang sudah saya lakukan lepas subuh. Namun bedanya, kegiatan membaca berbeda karena saya memakai celana panjang tebal dan kemeja flanel lengan panjang. Saya merasakan hal lain, gairah saya berbeda. Biasanya saya membaca sambil memakai sarung atau celana kolor pendek. Sambil tiduran atau klekaran. Namun kali ini saya putuskan membaca sambil duduk. Alat pencatat yang saya siapkan pun berguna karena antusiasme saya mengaktifkan daya tangkap otak saya lebih lekas dan gegas. Saya suka mencatat kalimat2 yang saya baca, jaga2 kalau ada gagasan penting yang bisa saya pakai untuk bahan tulisan atau jadikan pegangan hidup. Lalu teringatlah saya dengan kalimat seseorang, yang mengatakan Bung Hatta, salah satu proklmator kemer

Mimpi Buruk Bangsa Keminggris

Dua minggu lalu, dunia hiburan di Tanah Air digegerkan dengan kematian seorang pemeran laki2 yang cukup terkenal lantaran sebelumnya ia beristrikan seorang bintang masyhur. Dalam suasana duka, seorang sahabat dari sepasang suami istri artis itu bercuit di twitter, ia tak bisa berkata apa2 saat sahabatnya mengungkapkan isi hati setelah kepergian sang suami, “It is like a nightmare, but it is real.” Dalam keadaan belasungkawa, saya membaca cuitan itu dengan hati masygul. Dengan suasana hati yang demikian berduka si artis masih sempat berbahasa Inggris, bahasa yang bukan bahasa ibunya. Mungkin saja ia berbahasa Inggris dengan almarhum suami dan anak, namun yang membuat saya takjub adalah betapa bahasa Inggris sudah merasuki alam bawah sadar manusia Indonesia, paling tidak mereka yang hidup di kota besar. Saya sangat rewel dengan urusan keminggris ini, sebab bahasa Indonesia adalah benteng terakhir harga diri bangsa Indonesia. Andai saya boleh dan mungkin, saya akan memaki atau paling tida

Memigrasikan Indonesia

Mengindonesiakan Dunia! Saya lagi2 takjub, hampir selalu ada orang India atau Pakistan di setiap kota yang saya singgahi selama saya merantau di Australia ini. Ketakjuban saya adalah terhadap kepercayaan diri mereka menjelajahi dunia guna mengais rejeki. Tanpa mengesampingkan sejarah, saya tahu ada sebagian orang Jawa yang bisa kita temui jejaknya di negeri2 lain, seperti malaysia, Singapura, Afrika Selatan, Belanda, atau Suriname, namun bagi saya itu masih kalah dibandingkan kedua bangsa tadi. Orang Jawa bertebaran di negara2 yang sudah saya sebut namanya karena dua hal. Sebagian memang karena mereka merantau, dan sebagian besar mereka meruoakan laki2, sementara sebagian lagi merupakan keturunan pekerja Jawa yang dibawa penjajah Belanda ke tanah koloni2 lain. Lain halnya dengan orang India atau Pakistan (saya tak menyebut orang Cina karena terlalu umum) mereka pergi merantau bersama keluarganya, memang tidak semua, namun tetap saja angka mereka besar dan fakta inilah yang menjadikan m

Melihat Agnes Monica Mendewasa

Saya berdesir saat Sujiwo Tejo mengunggah video ia dan Agnes Monica bernyanyi langgam Jawa di twitter. Penyanyi berusia 34 tahun itu Juga terbahak2 saat Sujiwo Tejo mengatakan, Agnes tidak berdarah Indonesia melainkan berdarah Jawa. Terpikir, 10 tahun lalu apakah nona keturunan Tionghoa ini mau menyanyikan lagu jenis demikian? Kesimpulan saya, Agnes kini tampak mengendur dan membumi karena ia dalam proses pendewasaan ini. Dan salah satu hal yang mendasarinya adalah keterpukulan. Saya kira keterpukulan merupakan hal yang menentukan dewasanya seseorang. Ia akan menjadi lebih bijak dan memahami keadaan saat pengalaman batinnya menghebat. Persis seperti cerita saya sendiri dulu, yang saat muda emoh mendengarkan lagu2 dangdut, India, atau campur sari. Alasannya ya karena lagu2 jenis itu tidak keren di mata saya. Kala itu saya berambisi menjadi musisi/wartawan musik top yang rujukan lagu2nya adalah musik dari luar negeri. Beda ceritanya pada hari2 ini, ketika saya lebih bertoleransi terhadap

Satu di Antara Mimpi2 Saya: Mengembalikan Kebesaran Bahasa Jawa

Scripta manent verba volant Kegelisahan hati sejak lama membuncah setiap mendengar pitutur dari bahasa latin tersebut. Sebagai putera asli Jawa saya berangan2 bahasa ibu saya ini bisa lestari turun temurun ke anak, cucu, buyut, canggah, wareng, udhek2, gantung siwur, gropak senthe, debog boaok, galih asem dst. Semua orang tahu semakin ke sini penutur bahasa Jawa semakin terkikis jumlahnya. Perkembangan jaman dan majunya tekonologi membuat bahasa Jawa semakin ditinggalkan lantaran penuturnya lebih memilih kemindon dan keminggris. Meski sedikit terselamatkan dengan adanya kesadaran berbahasa Jawa dari segelintir kalangan muda dan tokoh2 semacam Sujiwo Tejo, bahasa Jawa selebihnya hanya dikenal sebagai bahasa verbal, bukan bahaaa tulisan. Saya jarang sekali mendapati adanya buku bacaan atau situs berita yang menggunakan bahasa Jawa. Padahal penutur bahasa ini masih besar dan suku Jawa pun menjadi suku terbesar di negeri ini. Pertanyaan saya, akan sampai kapan bahasa Jawa bertahan

Merasa Tak Ikhlas Beribadah? Jalan Terus!

Pernahkah terlintas dalam benak kita, mungkinkah berdoa, sembahyang, atau berzikir kepada Allaah tanpa ada embel2 duniawi di sebaliknya? Mungkin ada beberapa dari pembaca blog sederhana saya yang budiman yang pernah mendengar nama dan kisah Rabiah al Adawiyah? Sufi wanita mahsyur ini dikenal akan kecintaannya yang luar biasa terhadap Sang Pencipta. "Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut neraka Bukan pula karena mengharap masuk surga Tetapi aku mengabdi, Karena cintaku pada-Nya Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku" Puisi di atas merupakan sepenggal dari puisi2 terkenal gubahan Rabiah kepada Sang Khalik. Soal tidak ikhlas dalam ibadah ini dan sering malu jika mengingatnya. Saya malu karena saya tampak tidak ikhlas melakuk

Tentang Suami Yang Merindukan Pulang #2

Fi.. Apa salahku memakai kamu sebagai orang kedua jamak Kukira semua orang pun mengetahui, bau tanah Pakintelan selepas diguyur hujan adalah sesuatu yang mencandukan Aspal Ungaran yang mengepul tipis2 tak lama setelah matahari menghangatkan pemukaannya yang lembab Semua itu tak terganti, ada sensasi tersendiri saat kamu menikmatinya bersamaan dengan kerlingan benak kepada harapan Istana dari tatanan bata2 berwarna kelabu, yang diadon dengan rasa hormat untuk tetangga baru dari Pak rohim dengan atap genteng berkerangka galvalum yang timpang di bagian belakang Ada yang lucu di sana, tapi rinduku lebih pekat Fi.. Kuingat saat malam2 kau mendadak terjingkat2 Seekor kucing mengeong di pintu depan meminta masuk dari halaman yang ditumbuhi belukar dan tanaman2 Aku tertawa, berderai2 Tak pernah lagi kulihat rusa, yang kuceritakan padamu ia mungkin lari dari belantara Dan kau berkata menimpali, kamu hidup di Oklahoma Fi.. Pak Gik dan nasi kucingnya itu nolstalgik Kali di si

Tentang Suami Yang Merindukan Pulang

Apa yang kaudambakan dari musim hujan? Ada bulir2 kenangan menetes di sepanjang jalan Salatiga-Watusari, rindu2 tak terperi Emak, Bapak, sanak, kerabat, di benak ini semua melekat, erat Jarot, Eko Sus, Yulianto, Pak Edi dan semua pejuang waktu Sama2 dulu berjuang demi sebaris berita, tentang cerita di seputar wilayah selatan ibukota Juga rumah kita yang sederhana, yang kita raih dengan tetes keringat, darah, dan air mata Bawalah makan, Mas, sms-mu terbaca Kubelah Ungaran dan sebungkus nasi ayam penyet yang kubeli di tepi Sumurjurang Bergoyang2 gontai di setang motor yang membawaku pulang Kau pernah mengeluh, sebab di setiap pagi yang sejuk selepas subuh Aku membeku di tepi meja, menancapkan pandangan pada lembaran2 yang hati2 kueja Malam2 dingin di Semarang di antara Desember dan Januari 2014 janganlah kau beranjak dan berlari Dari sana kita mulai menapaki janji2, cita2 untuk hidup mandiri Satu setengah tahun sudah aku menjauh Menepi di utara Australia yang panas p

Sertifikasi Halal Janganlah Dihapus

Sertifikasi halal konon diwacanakan untuk dihapus, akan disayangkan sekali. "Beberapa tahun ke depan mungkin saya akan pindah, ke Malaysia atau Indonesia. Saya ingin hidup tenteram menjalani kewajiban sebagai muslim di sana, karena banyak masjid dan makanan halal, tidak seperti di sini," demikian uraian Muhammad Abdul Aziz, kawan kuli seperjuangan di kebun kopi milik keluarga Murat. Muhammad (sebagai mana ia biasa dipanggil) adalah seorang pendatang asal Uzbekistan yang tinggal di Mareeba, Queensland Utara Jauh, dan bekerja sebagai buruh tani. Kami beberapa kali bekerja bersama, dan datang menghadiri ibadah di masjid bersama. Impian Muhammad untuk tinggal di negara muslim dengan alasan demi mudahnya mendapatkan makanan halal sangat beralasan. Di Australia, negara kelahiran isteri Muhammad, mendapatkan makanan atau bahan makanan halal tidak semudah di Indonesia. Kita harus memastikan ada label berwarna hijau pada plastik atau mika pembungkus daging. "Jika warnanya merah m

Jilbab Memang Wajib, Tapi..

Kalau memang banyak orang Indonesia belum siap berjilbab, mungkin cara ini patut dicoba: pakai kerudung. Geger kontroversi seorang tokoh yang mengatakan jilbab tidak wajib membuat kehidupan bermasyarakat di media sosial terusik lagi. Pro dan kontra, seperti biasa, mengiringi cuitan di twitter mau pun coretan di dinding facebook. Pikiran saya dalam hal ini ada di tengah2, meski saya percaya dan yakin jilbab itu wajib tapi saya pikir perlu ada jembatan antara gagasan2 yang menyelubungi masalah ini, salah satunya ya tadi, lakukan pendekatan perlahan2. Tahun 1990an saya ingat sekali di kampung saja Junggede, Pemalang, tidak banyak perempuan memakai jilbab secara rapat. Lingkungan yang dikenal abangan dan diselingi kalangan nahdliyin yang khas di kehidupan pantura saya hanya ada perempuan memakai kerudung, termasuk kalangan muda yang berkerudung (menyelempangkan kain di kepala dan membiarkan rambut bagian depan terbuka). Sementara ibu2 dan nenek2 mengikatkan kain di sekujur kepala bagian at

Bahasa Apa Yang Cocok Untuk Membesarkan Anak?

Tadi malam, Selasa (21/1/2020) di ILC saya menemukan uraian menarik dari dalam tenar Sujiwo Tejo. Dalam acara bertajuk muncul2nya kerajaan2 baru du republik, ia mengungkapkan kehidupan sebagai anak raja di dalam masyarakat kerajaan akan terasa "nyeni" dan estetis. Alasannya karena anak2 raja, tidak seperti anak2 biasa yang tumbuh dalam kehidupan republik seperti kita ini, akan dididik sebagai penguasa sedari kecil. "Mereka akan belajar sastra, bermain pedang, beladiri dan belajar yang lain karena mereka sejak lahir sudah memiliki semua yang ada di kerajaan," ujarnya. Satu gagasan yang saya ambil dari penjelasan dalang Jancuk adalah perlunya mengajarkan ilmu berbahasa dan sastra kepada anak sejak dini. Muncul beberapa kali di benak saya, bahasa apa yang akan kamu pakai untik percakapan sehari2 dengan anak2mu. Sejauh ini saya masih memilih bahasa Jawa.  Alasannya bahasa ini masih menjadi bahasa ibu saya dan isteri, dan bahasa Jawa memiliki kosakata lebih luas daripada

Drama

Image
Pilih mana, lebih baik ngeblog jarang2 tapi bermutu apa banyak tulisan tapi remeh temeh bin receh? Atas pilihan ini kawan saya Alfi memilih yang kedua. Baik, saya ada sedikit pikiran yang ingin saya bagikan. Saya terperangah dengan kalimat seorang kawan pengusaha yang sempat saya whatsapp tentang konsep kedai kopi yang saya impikan. Jawabannya begini: Jadikan pengalaman hidup sampeyan sebagai drama. Kawan ini tahu kalau saya bekerja di Australia sebagai buruh di perkebunan kopi. Menurutnya, cerita beriring gambar2 saya semasa bekerja akan memembantu pemasaran dagangan saya kelak.  “Bikin video dan ambil foto sebanyak2nya, pajang di dinding kedai, pembeli milenial akan tertarik karena pelanggan jaman sekarang suka drama,” ujarnya mantap. Milenial menyukai hal2 yang dramatis, apakah itu positif atau negatif? Ada seorang selebtwit yang mencuit soal seorang walikota, yang hobinya marah2 sama anak buahnya. Seorang pengikutnya berkomentar, orang Indonesia suka drama, generasinya suka drama,

Resolusi 2020, Berhenti Berkata "Ah"

Berbakti kepada orang tua, seperti apa pengertian gamblang dari kalimat ini di benak kita? Membuat bangga ayah ibu, mudah atau sulitkah mewujudkannya dalam kehidupan kita sebagai manusia dewasa? Di telinga saya selalu terngiang2 kalimat janganlah mengucapkan ah kepada ibu bapa yang disarikan dari ayat agung kitab suci Alquran. Apakah kita semua berhasil menjalankannya? Saya mengaku belum. Tumbuh dengan kasih sayang kedua orang tua menjadikan saya merasa dekat secara lahir dan batin dengan keduanya, meski tidak jarang saya membuat kesal keduanya dan sebaliknya, saya sering merasa benar hingga bapa dan ibu saya tempatkan dalam posisi bersalah. Terlebih lagi saat usia kita semakin ke sini, dan ibu bapa sudah tidak lagi dalam keadaan terbaiknya. Berapa sering kita menaikkan intonasi suara dalam telepon saat ibu tampak gagal memahami kalimat kita? Astaghfirullah. Ayah yang sekarang berusia di atas 70 pun tak luput dari kekesalan kita karena lamban mencerna pertanyaan kita. Sampai se