Onggrongan

"Onggrongan.." celetukan seorang teman menimpali percakapan saya dengan seorang kawan lain. Bukan tanpa maksud ia menimpali demikian, sebab dia tahu betul dua orang yang sedang bercakap2 itu merupakan penutur asli kata yang bermakna berlebih-lebihan itu.

Onggrongan, kata ini dituturkan oleh masyarakat pantura plat g dari Pekalongan hingga Tegal dan sekitarannya. Tentu ada sebab mengapa suatu bisa sampai muncul dan digunakan oleh suatu kelompok masyarakat. Dan teori saya, kata onggrongan ini muncul karena keadaan sosiologis masyarakat pantura.

Jauh dari ingar bingar keraton membuat kawasan di tepi laut Jawa bagian tengah ini tidak begitu dilirik. Tanpa adanya perhatian itulah mentalitas orang pantura di kawasan eks karesidenan Pekalongan terbentuk. Mereka cenderung mencari perhatian.

Bagi orang2 yang besar di kawasan ini tentu tahu benar tabiat onggrongan. Pelakunya akan melakukan apa saja untuk mendapatkan perhatian, tertawaan, sampai cemoohan.

Saya pernah menyaksikan sendiri di suatu pertandingan bola tarkam seorang lelaki berusia 40an berteriak2 sambil menari2 di antara tepuk tangan dan sorakan orang2. Hal semacam ini mungkin tidak terjadi di daerah semisal Jogja, Solo, Klaten, atau Magelang.

Tatanan masyarakat kutanagara (non keraton) yang egaliter pun membuat perilaku onggrongan ini tidak terbatas pada kalangan tertentu saja alias semua orang boleh jadi pernah melakukannya.

Onggrongan (bentuk pasifnya dionggrong, artinya dijadikan berlebih2an alias dijadikan pusat perhatian) pun masuk menjadi kosa kata dalam percakapan.


Comments

Popular posts from this blog

Disiplin Diri

Gunung

Piala Dunia