Posts

Showing posts from 2018

Melipir

Sudah waktunya kita, para pengendara sepeda motor agar lebih berbesar hati saat berkendara di jalanan. Kita sudah sepatutnya memberikan penghargaan kepada sesama pengguna jalan lainnya, dan mengesampingkan ego sendiri demi ketertiban. Salah satu hal yang bisa diterapkan untuk memulainya mungkin ketika kita hendak berbelok ke kanan, yakni mengusahakan agar kita melaju dengan membentuk leter L alih-alih melipir dengan menyeberang sebelum waktunya. Siapapun dari kita tentu pernah mengalaminya, berbelok ke kanan meski gang atau jalan yang hendak kita masuki masih berberapa meter lagi. Alasan yang paling umum adalah karena mumpung jalanan sedang sepi sehingga kita memilih berbelok dulu dan kita masih bisa melipir melawan arus beberapa meter. Namun kalau semua pengendara sepeda motor punya pikiran egoistis seperti ini, program pemerintah dan polisi untuk menyelenggarakan lalu lintas yang tertib hanya harapan kosong karena kita sebagai ujung tombak tidak menerapkan sepenuhnya butir-butir de

Gudeg

Pembeli: tutup dugi kapan, Mas? Penjual: mungkin Maret, Bu. Dua minggunan. Mangke kula pasang tulisan. Percakapan tersebut saya dengar di sebuah warung sarapan di kawasan Condongcatur, Depok, Sleman pada Minggu (18/2/2018) pagi tadi. Bukan percakapan yang istimewa untuk saya bicarakan, namun ada yang menarik dari kata-kata yang bergulir dari mulut si penjaja gudeg pinggir jalan itu.  ‎ Penggunaan kata mungkin dan dua minggunan‎ pada penyampaiannya membuat kening saya mengerenyit. Orang Jogja selama ini -di mata saya- dikenal sebagai masyarakat penutur bahasa Jawa tulen yang jauh dari kata-kata serapan bahasa indonesia.  Saya lumayan paham karena hampir dua tahun tinggal di kota ini. Meski sama-sama berbahasa Jawa, orang pantura macam saya tidak bisa dibandingkan dalam penguasaan tembung Jawa dengan cah Jogja yang hidup dengan pengaruh keraton yang kental. Tapi dewasa ini kekentaraan itu semakin pudar, generasi muda Jogja pun terdampak dalam gejala kemindon (maaf jika ist

Bro

Siapa yang masih ingat kata sandang untuk memanggil teman kita dulu? Sebelum era teknologi informasi maju seperti sekarang, generasi muda di berbagai daerah belum terhubung dalam satu jaringan, dan keadaan itu tentu ditandai dengan banyaknya perbedaan dalam aspek budaya keseharian. Di tempat saya besar, Comal Kabupaten Pemalang, generasi yang lahir di paruh kedua dekade 1970an dan 1980an punya sebutan tersendiri untuk memanggil kawannya. Salah satunya "pek" yang asal katanya datang dari entah, dan kata "pek" ini begitu masyhur di kalangan kami sampai-sampai kami menganggap diri sendiri keren jika bisa menggunakan kata tersebut dalam pergaulan. Sejak saya pindah ke kota lain selepas SMA dan tak pernah tinggal di rumah dalam waktu yang lama, saya tak pernah tahu lagi apakah kata "pek" ini masih digunakan atau tidak. Beberapa minggu lalu, keponakan perempuan saya yang berusia 9 tahun yang tinggal di Comal pernah menyebut kata "lheh" untuk menega

Hakim

"Lho, pie to?" Hakim mengerang begitu menerima sms saya yang mengatakan pertemuan malam itu batal. Begitulah, reaksinya demikian datar meskipun dia sudah jauh-jauh datang ke Taman KB dari kantornya untuk janjian dengan saya. Hakim tak pernah marah, bahkan menggerutu sekali pun. Dan itulah mengapa persahabatan kami bertahan begitu lama. Bahkan di saat kami terpisah oleh jarak, yakni ketika saya hijrah ke Jogja dan dia di Semarang (dan pernah juga sebaliknya) namun kontak-kontakan tetap kami pertahankan. Pada Rabu (18/1/2018) dini hari kemarin ayahanda Hakim berpulang. Pak Rohadi Suseno namanya, dan seperti saya, beliau putra Pemalang asli. Sentimen kesamaan DNA ini membuat perkawanan saya dan Hakim semakin terasa begitu erat. Suatu hari tanpa sengaja Hakim mengucapkan kosa kata yang sangat khas Pemalang, dan dengan tegas ia mengatakan, ini biasa diucapkan bapak saya. Pak Rohadi yang merupakan pensiunan guru meninggal dunia setelah beberapa waktu bermasalah dengan par

Reza

Selama ini saya tak pernah menyukai karya yang dibuat oleh seseorang yang sudah saya cap jika karya-karyanya tak menarik. Sekalipun ada testimoni dari oranglain, namun selama testimoni itu tidak dari seseorang yang kredibel maka saya tetap tak akan suka. Orang menyebut gejala ini sebagai misantropi, cara pandang terhadap sesuatu yang selalu dari sisi negatif. Tak masalah, toh tak menyukai suatu karya bukan berarti saya membenci pembuatnya. Akan tetapi, cara saya menyikapi suatu karya ini seringkali salah. Dalam urusan musik misalnya, seorang kawan dulu mengkonfrontasi saya karena belakangan saya mendengarkan lagu dari band yang pernah saya cibir sebagai plagiat dan tidak kreatif. Yang terbaru, saya berbalik menikmati suatu karya film yang pada awal kemunculannya dulu saya pandang remeh. Judul filmnya My Stupid Boss (selanjutnya disebut MSB). Film besutan Upi ini mendadak mencuri perhatian saya (iya, saya telat setahun lebih untuk bisa menikmatinya), karena sajian visual dan alur ce

Hijrah

Segera Tiba Waktunya Kuberhijrah Seorang kawan menanyakan, "benarkah hijrah itu bisa ke sembarang?" tak kujawab. Aku punya alasan sendiri mengapa kupilih jalan ini. Di usia 30 ini, aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menggali lebih besar lagi potensi diri. Aku ingin meraup segala kemungkinan atas terwujudnya mimpi, harapan-harapan akan cemerlangnya masa depan. Ini bukan materi melulu, aku pun berhasrat tentang ilmu. Nilai-nilai yang bisa aku tanamkan pada diri sendiri maupun kusampaikan kepada oranglain. Mari Awali Ini Dengan Bismillah Agar setiap langkah kita ke depan menjadi berkah. Orangtua sudah mendidikku sedemikian keras, sampai-sampai mereka kesampingkan diri. Akan kubalas, bagaimanapun caranya. Rasa sayang kepada keduanya begitu mendalam belakangan ini. Saat-saat mereka semakin renta, dan belum satu pun kebanggaan hakiki yang bisa kuukir pada senyum keduanya. Pak, Mak, kupohonkan rida kalian, agar aku semakin mantap menjejak masa depan. Bertebar