Reza

Selama ini saya tak pernah menyukai karya yang dibuat oleh seseorang yang sudah saya cap jika karya-karyanya tak menarik. Sekalipun ada testimoni dari oranglain, namun selama testimoni itu tidak dari seseorang yang kredibel maka saya tetap tak akan suka. Orang menyebut gejala ini sebagai misantropi, cara pandang terhadap sesuatu yang selalu dari sisi negatif. Tak masalah, toh tak menyukai suatu karya bukan berarti saya membenci pembuatnya.

Akan tetapi, cara saya menyikapi suatu karya ini seringkali salah. Dalam urusan musik misalnya, seorang kawan dulu mengkonfrontasi saya karena belakangan saya mendengarkan lagu dari band yang pernah saya cibir sebagai plagiat dan tidak kreatif. Yang terbaru, saya berbalik menikmati suatu karya film yang pada awal kemunculannya dulu saya pandang remeh. Judul filmnya My Stupid Boss (selanjutnya disebut MSB).

Film besutan Upi ini mendadak mencuri perhatian saya (iya, saya telat setahun lebih untuk bisa menikmatinya), karena sajian visual dan alur cerita yang meski sederhana namun mampu membuat saya bahagia. Bahagia yang pertama adalah karena muncul rasa bangga, sebab di film Reza Rahadian merupakan bos bagi beberapa orang asing (tiga di antaranya adalah peran pembantu utama yakni orang Malaysia). Sudah lama sayamengumpulkan kepingan-kepingan alasan kenapa kita bangsa Indonesia patut percaya diri di hadapan negeri-negeri jiran. Selain unggul dalam karya seni, keindahan bahasa, juga karena ragam budaya dan adat istiadat kita yang jauh lebih kaya.

Saya kerap kali mengulik YouTube, mencari tayangan wawancara di televisi atau radio Malaysia yang narasumbernya adalah artis Indonesia. Kembali ke MSB, testimoni orang Malaysia di media sosial saya dapati lumayan bagus. Sementara itu masyarakat Malaysia sendiri turut berbangga artis mereka bisa ikut berlakon di film yang kabarnya termasuk paling sukses di dunia perlayarlebaran Indonesia ini.

Lalu bahagia yang kedua, saya kira MSB ini lumayan bagus merepresentasikan Indonesia di negara-negara Asia tenggara lainnya. Tidak hanya soal logat, namun tata krama dan unggah-ungguh yang meski serumpun dengan Malaysia, namun tetap saja ada perbedaan. Kebahagiaan saya di pokok ini sebenarnya mendapati ganjalan, tatkala Diana (diperankan Bunga Citra Lestari) di akhir-akhir cerita menunjukkan sikap kurang sopan yakni membalas dendam perlakuan bosnya. Apa itu salah? Sebagai bumbu cerita saya rasah sah-sah saja, namun jika kita memposisikan film ini sebagai duta budaya saya kira tidak. Apalagi kepada Malaysia yang masih menjunjung tinggi unggah-ungguh khas Melayu.

Namun itu tak jadi soal, sebab Diana di sisi lain pun menjadi andalan tatkala kawan-kawannya sudah angkat tangan menghadapi tingkah laku dan bahasa absurd si bos. Reza sendiri berakting oke (meski ada kalanya kita beretorika tentang dominasinya di karya-karya layar lebar, dia lagi?), cara dia menuturkan cengkok Jawa yang tidak semua artis Jakarta kuasai sungguh jos.

"Lha wong mimpi mimpi saya sendiri kok.." kalimat tersebut sangat familiar bagi saya penutur logat jawa tengahan.

Baik, sekarang mumpung masih tahun baru 2018, ada baiknya kita unggahkan kata-kata yang baik. Doa saya, tahu ini saya ingin lebih banyak mengapresiasi karya-karya oranglain, terutama karya putra bangsa sendiri. Akan ada banyak film dan musik yang dirilis tahun ini tentunya, dan saya tak sabar menemukan karya apa yang kiranya sukses mencengangkan saya sekaligus menggoda saya untuk menikmatinya kembali. Tabik.

Comments

Popular posts from this blog

Disiplin Diri

Gunung

Piala Dunia