Bro

Siapa yang masih ingat kata sandang untuk memanggil teman kita dulu? Sebelum era teknologi informasi maju seperti sekarang, generasi muda di berbagai daerah belum terhubung dalam satu jaringan, dan keadaan itu tentu ditandai dengan banyaknya perbedaan dalam aspek budaya keseharian.

Di tempat saya besar, Comal Kabupaten Pemalang, generasi yang lahir di paruh kedua dekade 1970an dan 1980an punya sebutan tersendiri untuk memanggil kawannya. Salah satunya "pek" yang asal katanya datang dari entah, dan kata "pek" ini begitu masyhur di kalangan kami sampai-sampai kami menganggap diri sendiri keren jika bisa menggunakan kata tersebut dalam pergaulan.

Sejak saya pindah ke kota lain selepas SMA dan tak pernah tinggal di rumah dalam waktu yang lama, saya tak pernah tahu lagi apakah kata "pek" ini masih digunakan atau tidak. Beberapa minggu lalu, keponakan perempuan saya yang berusia 9 tahun yang tinggal di Comal pernah menyebut kata "lheh" untuk menegaskan sesuatu kepada kakaknya. Saya ingat, semasa SMA dulu anak-anak yang berasal dari Kecamatan Petarukan hingga ke Pemalang Kota yang berada di sisi barat kabupaten sering menyebut kata ini dalam percakapan.

Sejarah "lheh" ini juga gelap, namun demikian melihat dari pelafalannya yang berat kemungkinan besar "lheh" berasal tidak jauh dari kawasan Pekalongan-Pemalang-Tegal. Khusus wilayah yang saya sebut pertama, meski dekat secara geografis namun tidak banyak istilah-istilah pemuda lokal yang saya ketahui, hanya "mhad" saja yang bisa saya sebut. Makna dari "pek", "lheh", dan "mhad" ini sebenarnya sama, yakni panggilan akrab kepada teman seumuran.

Di dunia literasi, ada kata "mek" yang bisa kita temukan di novel Marga T, judulnya Badai Pasti Berlalu. Mengambil seting tahun 1970-an, novel tersebut beberapa kali memuat kata "mek" sebagai panggilan oleh para tokohnya yang didominasi mahasiswa. Di Semarang, saya baru mengetahui beberapa tahun belakangan jika "mek" ini juga masih banyak pemakainya.

Baik "pek", "lheh", "mhad", dan "mek" ini di masa sekarang punya pesaing baru baru yang penyebutannya bisa dikatakan lebih jamak dan luas, namanya "bro". Kata tersebut dicomot dari kata brother (saudara laki-laki dalam bahasa Inggris). Bagaimana kata "bro" ini masuk ke dalam percakapan kit sehari-hari tentu tidak lepas dari perkembangan jaman. Jalinan pertemanan antarbangsa sudah terkoneksi sedemikian rupa oleh sesuatu tak berwujud bernama internet.

Pada serial komedi How I Met Your Mother, tokoh Barney Stinson yang konyol banyak didapati mengucapkan berbagai hasil modifikasi dari kata bro. Barney yang diperankan Neil Patrick Harris bahkan punya kitab khusus yang membahas tentang pasal-pasal yang harus dipatuhi dalam pertemanannya dengan tokoh utama, Ted Mosby. Nama kitabnya bro code. Ada pula istilah-istilah religi yang dimodifikasi Misalnya bro mitzvah, bronacle, dan beberapa lainnya.

Bicara tentang istilah religi, kalangan muda-mudi yang aktif di ekstrakurikuler rohani Islam (rohis) sudah lama dikenal sebagai penutur kata "akhi" dan "ukhti". Kedua kata ini berasal dari bahasa Arab yang artinya kurang lebih sama dengan saudara dan saudari.

Kembali lagi ke "bro", di kalangan pemuda dalam negeri kata bro juga mengalami pendandanan, antara lain pada kata "masbro", "mbakbro" (padahal ada pula istilah "sis" untuk kalangan remaja putri), dan "pakbro". Tentu masih ada beberapa gelintir hasil modifikasi dari kata "bro" ini.

Maraknya pemakaian kata "bro" ini d mata saya adalah sebuh gejala, ketika kalangan anak muda semakin terjangkiti wabah internasionalisme. Bukan hanya kata "bro", penggunaan kata "oppa" untuk menyebut aktor atau biduan Korea kesayangan misalnya, juga melanda mereka pecinta budaya pop negeri ginseng (para gadis mungkin lebih berhati-hati menerapkan kata ini dalam percakapan agar tak salah paham menyapa pacar dan kakek mereka).

Lalu apakah gejala internasionalisme ini akan bertahan lama dan merambah ke segala aspek, saya kira iya. Kalangan remaja merupakan golongan yang cenderung menyukai hal-hal baru yang keren dalam pandangan mereka. Apalagi media sosial saat ini semakin mudah diakses, sehingga tidak hanya di kalangan muda-mudi kota, internasionalisme ini juga bakal melanda bocah-bocah belasan hingga ke pelosok desa.

Tak perlu khawatir gejala ini akan merontokkan nilai-nilai lokal. Tokh, tampaknya ini hanya gejala sesaat, dan waktu akan terus berjalan membawa kita kepada pengalaman-pengalaman baru. Koen siap ndean oh, bro?

Comments

Popular posts from this blog

Disiplin Diri

Gunung

Piala Dunia