Hakim



"Lho, pie to?" Hakim mengerang begitu menerima sms saya yang mengatakan pertemuan malam itu batal. Begitulah, reaksinya demikian datar meskipun dia sudah jauh-jauh datang ke Taman KB dari kantornya untuk janjian dengan saya.

Hakim tak pernah marah, bahkan menggerutu sekali pun. Dan itulah mengapa persahabatan kami bertahan begitu lama. Bahkan di saat kami terpisah oleh jarak, yakni ketika saya hijrah ke Jogja dan dia di Semarang (dan pernah juga sebaliknya) namun kontak-kontakan tetap kami pertahankan.

Pada Rabu (18/1/2018) dini hari kemarin ayahanda Hakim berpulang. Pak Rohadi Suseno namanya, dan seperti saya, beliau putra Pemalang asli. Sentimen kesamaan DNA ini membuat perkawanan saya dan Hakim semakin terasa begitu erat. Suatu hari tanpa

sengaja Hakim mengucapkan kosa kata yang sangat khas Pemalang, dan dengan tegas ia mengatakan, ini biasa diucapkan bapak saya.

Pak Rohadi yang merupakan pensiunan guru meninggal dunia setelah beberapa waktu bermasalah dengan paru-parunya, dan Hakim sebagai salah satu anak laki-laki terdekat beliau tampak begitu tegar menghadapi kepergian terbesar dalam hidupnya.

Hakim sendiri adalah anak tengah-tengah. Ia anak ketiga dengan dua kakak laki-laki dan satu adik perempuan dan laki-laki. Dalam banyak hal, Hakim seringkali menjadi andalan bapak ibunya. Termasuk ketika sang ayahanda menjalani rawat inap di rumah sakit, beberapa hari sebelum kepergiannya. Hakimlah yang bertugas jaga malam di ruang tunggu.

Saat saya menemuinya sore hari usai pemakaman, tak saya temui muram yang mendalam di wajah Hakim. Inti kata-kata pertama yang bergulir dari mulutnya adalah bahwa semua ini kehendak Tuhan Sang Pencipta. Lagi-lagi Hakim mencengangkan saya.

Seharian itu ia sibuk. Mulai dari kepengurusan berkas di rumah sakit hingga persiapan yasinan di malam ia Hakim tak pernah diam. Sesekali kami berkelakar kecil dan senyumnya pun masih sama.

Dulu, saat kami sama-sama duduk di bangku kuliah, Hakim tergolong sebagai kawan yang sering menjadi bulan-bulanan candaan rekan kami yang lain. Sikap konyolnya, kenaifannya, kepolosannya, adalah bahan bakar bagi tawa lepas kami. Tapi sekali lagi Hakim tak sekali pun marah, apalagi mendendam.

Pernah saya tanyakan mengapa kau begitu tabah, dan dijawab dengan bijak oleh Hakim, anak dari Pak Rohadi mantan guru agama, bahwa biarkan semua jadi pahala.

Selain non-pemarah, bapak dari gadis kecil bernama Sophia ini bukan tipe penggunjing. Kendati suka bicara, Hakim tak suka memperbincangkan aib orang meski kami kehabisan bahan percakapan. Bahan omongan paling dominan di antara kami berdua adalah Manchester United, kami tak akan berhenti mengoceh jika sudah membicarakan tim sepakbola junjungan kami itu.

Kepada Hakim saya pernah berkata, di masa depan saya ingin menjadi agen pemain sepakbola. Mungkin ini satu dari segelintir kata-kata saya yang benar-benar diingat oleh Hakim, dan sesekali ia menggoda saya dengan pertanyaan apakah saya masih

menyimpan mimpi itu. Saya jawab iya. Namanya mimpi, tak ada yang pernah tau apakah ia akan terwujud atau tidak. Demikian juga dengan persahabatan kami, tak akan pernah kami ketahui kapan ujungnya tiba. Saat ini mungkin saya dan Hakim saat ini sudah sama-sama berkeluarga, cari makan dan hidup di kota yang sama, namun entah di hari lain.Yang jelas, di manapun saya berada nanti saya selalu mengharapkan kebahagiaan Hakim dan keluarga.
Suwun, Kim!

Comments

Popular posts from this blog

Disiplin Diri

Gunung

Piala Dunia