Gunung


Sejak lama aku mengidamkan kehidupan di gunung.

Setiap kali melihat gunung aku merasa sedang menggapai puncak-puncak ketenangan. Hening dan bergeming.
Menatap gunung seketika mengingatkanku akan peradaban yang lugu dan bersahaja, lingkungan yang hijau dan basah, kekeluargaan dan kemasyarakatan yang erat, persis seperti cerita dalam novel Bekisar Merahnya Ahmad Tohari.

Melihat gunung membuatku takjub. Bagaimana sepasang mata bisa melihat sekian banyak beradaban yang terangkum dalam satu punggung.

Dulu di Queensland aku juga tinggal di daerah pegunungan. Tapi dataran tinggi di Australia tidak seindah Jawa Tengah. Sejuk iya, tapi tak memanjakan mata atau merasuki batin.

Aku besar di Jateng bagian utara yang panas dan keras, dan aku selalu merasa meredam tabiat panturaku bisa dilakukan dengan cara tinggal di Jateng bagian tengah, di bagian pegunungan.


Banyumas, Wonosobo, Temanggung, Sumowono, Limbangan, Belik.. selalu muncul suka cita acap kali aku mengunjungi daerah-daerah ini.

"Statusmu pegunungan terus, kukira sudah pindah dari Semarang.." cetus seorang kenalan.

Mungkin kenalan ini memang benar, aku sudah hijrah secara batin dan pikiran. Kehidupan pantura atau perkotaan sama sekali tak kurindukan.

Aku akan selalu mengunggah foto gunung. Aku berharap itu bisa merepresentasikan keadaan pikiranku: harapan akan keteguhan hati, ketenangan berpijak, ketinggian tekad, haru birunya perjalanan hidup yang sesekali berkabut dan berawan.


Aku sudah berpesan pada istri, makamkan aku di punggung Sumbing, kelak aku mati nanti. Dari gunung, aku semakin percaya ada sesuatu yang lebih agung daripada manusia.

Comments

Popular posts from this blog

Disiplin Diri

Piala Dunia