Posts

Beton Pantura

 Dulu, jalan raya pantura tidak ada pembatas. Jalur kanan kiri berjajar tanpa ditengahi beton. Jika kami hendak ke arah Pekalongan dari Jalan Raya Ujunggede, kami tinggal menyeberang di pertigaan. Saya ingat betul ketika Emak saya mengajak saya naik becak atau andong ke Pasar comal, atau kakak perempuan saya perlu mengayuh sepeda untuk pergi ke Blandong membelikan saya tabloid Fantasi, tak perlu repot-repot mencari bundaran atau roundabout.  Demikian halnya ketika warga dari Jatirejo atau Ujunggede hendak saling berkunjung, mereka tinggal menyeberang. Saat saya kecil saya sering sekali berkunjung ke Jatirejo, banyak kawan masa belia dari sana. Aji, Salman, Andi Kuping, Ari, Tating, Ud.. Di suatu waktu anak-anak dari desa-desa di utara jalur pantura bermain bersama anak- anak dari kawasan selatan adalah hal umum. Tapi segala hal itu terjadi dulu, ketika jalanan masih tak seramai hari ini. Sekarang jalur pantura seperti sungai Comal, selalu deras arusnya dan tak jarang pula dibanjiri ken

Piala Dunia

Kapan Indonesia lolos Piala Dunia? Sebuah tajuk diskusi dalam acara nonton bareng yang saya hadiri saat pembukaan Piala Dunia beberapa waktu lalu. Hadir beberapa pembicara yang sudah lama malang melintang di dunia persepakbolaan nasional dan pengusaha. Menghadirkan pembicara yang sudah berpengalaman mungkin menjawab pertanyaan dalam bentuk tajuk tersebut. Saya sebagai salah satu pendengar manggut-manggut begitu salah satu pembicara, salah satu pentolan tim sepakbola Tanah Air mengatakan bahwa pembinaan berjenjang sudah berjalan baik. Demikian halnya fasilitas penunjang seperti tempat latihan mau pun kompetisi. Ada satu pertanyaan mengganjal di benak. Hampir saja saya mengacungkan jari tapi tidak ada kesempatan. Pembawa acara menutup sesi bincang-bincang semenit setelah kick off laga antara Inggris dan Iran. Pertanyaan saya sederhana, bagaimana meningkatkan kualitas mental kita?  Sudahkah kita mencoba tertib dan mempercayai sistem? Sepakbola tidak hanya teknis dan strategi. Tapi juga ke

Gunung

Image
Sejak lama aku mengidamkan kehidupan di gunung. Setiap kali melihat gunung aku merasa sedang menggapai puncak-puncak ketenangan. Hening dan bergeming. Menatap gunung seketika mengingatkanku akan peradaban yang lugu dan bersahaja, lingkungan yang hijau dan basah, kekeluargaan dan kemasyarakatan yang erat, persis seperti cerita dalam novel Bekisar Merahnya Ahmad Tohari. Melihat gunung membuatku takjub. Bagaimana sepasang mata bisa melihat sekian banyak beradaban yang terangkum dalam satu punggung. Dulu di Queensland aku juga tinggal di daerah pegunungan. Tapi dataran tinggi di Australia tidak seindah Jawa Tengah. Sejuk iya, tapi tak memanjakan mata atau merasuki batin. Aku besar di Jateng bagian utara yang panas dan keras, dan aku selalu merasa meredam tabiat panturaku bisa dilakukan dengan cara tinggal di Jateng bagian tengah, di bagian pegunungan. Banyumas, Wonosobo, Temanggung, Sumowono, Limbangan, Belik.. selalu muncul suka cita acap kali aku mengunjungi daera

Pluviophile

Aku suka musim hujan. Air hujan menyegarkan pikiran dan menenangkan jiwa. Tidak ada yang sia-sia dari air hujan. Dulu saat masih kecil aku sering sekali hujan-hujanan. Ibuku sering mengeluh bajuku sulit dicuci karena kain yang basah bercampur tanah memerlukan kerja ekstra. Dulu keluarga kami tidak pakai mesin cuci. Tinggal di Gunungpati yang bertanah latosol harus siap dengan segala kerepotannya saat musim hujan tiba: Tanah jenis ini berwarna merah dan lengket, yang membuatmu kerepotan saat berjalan atau mengendarai roda dua setelah hujan; semut api (yang kecil tapi gigitannya masya Allah) harus bermigrasi ke permukaan karena di dalam terlalu lengket bagi para koloni; umput dan tanaman liar lain pun lekas tumbuh dan tinggi di musim basah; dan sebagainya. Musim hujan meneduhkan dan membekukan. Sebagian orang melihat musim hujan dengan sedikit kekesalan. Pengusaha makanan malam akan lebih sering kesepian di musim ini, sebab orang-orang lebih memilih meringkuk menahan lapar sampai tertid

Disiplin Diri

Saat keterlibatanmu membangun sistem bak gayung tak bersambut, yang tersisa hanya disiplin. Lebih dari setengah tahun sepulangku dari Australia, semangat untuk tetap membawa mentalitas bangsa barat ini masih membara. Namun sampai kapan bara ini akan terus menyala, aku tak tahu. Jadwal wawancara yang 'ngaret', jam buka kantor yang 'molor', antrian di lampu lalin yang semrawut, dan bejibun ketidakdisiplinan lain yang lama-lama tidak hanya harus aku maklumi, tapi juga harus aku imbangi. "Sepertinya kamu masih terbawa kebiasaan di sana, ya?" sergah seorang kawan yang melihatku gusar menyikapi tak kunjung munculnya narasumber. Sebenarnya bukan sejak di Negeri Kanguru saja aku mencoba disiplin. Mungkin sejak 2017 aku mengurangi hal-hal tak perlu, seperti tidur sampai larut. Mencoba rajin ke mesjid setiap subuh membuatku rutin tidur lebih awal dan dari sana segala sesuatunya seperti mengatur dengan sendirinya: sarapan dan mandi sebelum jam 9 WIB, ke mesjid setiap ada

Mi

Image
How do you show your love and gratitude to someone that has been attentive to you for a long time? I do not know why suddenly I am keen to write something about her. It just came up to my mind after dusk prayer, and even though I know she won't bother to read it I wish she knew me wrote this post. We call her Mi It is not an affectionate diminutive of her childhood nickname, Mulyani. It is the way her first children call her, and now all of our family members call her so and I can't remember it clearly whether it was a short form of Umi, or Mami or else. We just call her Mi and no one call her with other names since my first niece was born in 2004. One of the ladies on the picture is Mi.  My oldest memory about Mi was when she won sort of lottery called "Sepeda Santai" medal on 1992.  She brought a work desk home as the prize and I remember how hectic people were because of it. I think it was oldest memory about myself too: I was standing in the front of o

Masjid Favorit

Image
Mana masjid favoritmu? Di tengah maraknya semangat bagus-bagusan masjid, sejuk-sejukan pendingin ruangan, saya masih memilih Masjid Agung Semarang di Pasar Johar sebagai tempat salat kesukaan. caption: Jemaah salat luhur pada Senin (26/9/2022). Saya percaya masjid yang satu ini memiliki berkat tertentu, atau paling tidak punya nilai lebih yang meski sukar saya buktikan tapi oleh sang Ilahi diberi keunggulan tertentu. Bayangkan, bangunan setua ini (ada dua versi, berdiri antara 1547M atau 1743M) tapi masih kokoh dan kuat menampung ratusan jemaah. Tidak hanya itu, ada kesejukan yang nyata setiap kali memasuki bagian dalam masjid yang punya gaya arsitektur Jawa dicampur Persia ini. Tidak perlu AC, tidak perlu kipas angin, tapi panasnya pantai utara Jawa sekalipun teredam oleh bagian dalam masjid yang setiap siang bolong bagian depannya ramai dipakai qoilulah atau tidur siang oleh jemaahnya (banyak masjid yang takmirnya meminta masjidnya tidak dipakai tiduran). capt