Menjadikan Orang Indonesia Lebih Tinggi, Mungkinkah?
Saya tergelitik dengan artikel dari Tirto.id ini tentang
persentase orangtua Indonesia yang menginginkan anaknya hidup berbahagia yang
lebih banyak dibandingkan dengan orangtua yang ingin anaknya hidup sehat.
Masalah kesehatan anak sudah lama mengganggu pikiran saya, dan jika boleh saya
kerucutkan perkara ini bermula dari tontonan sepakbola. Pada laga Piala AFF Desember
2016 antara Indonesia dan Singapura, terlihat jelas perbedaan dalam asupan
nutrisi pada para pemain kedua negara.
Pemain Singapura begitu tegap, tinggi, dan memiliki rambut
tebal. Sementara pemain Indonesia sebaliknya, ceking, lebih pendek dan berambut
tipis. Khusus mengenai tinggi badan, saya penasaran, apakah bangsa kita ini
bisa memiliki penduduk dengan tinggi badan rata-rata di atas 170 sentimeter?
Pertanyaan ini bukan tanpa alasan, sebagai penggila olahraga
bal-balan saya ingin melihat pemain timnas tak kalah keren bersanding dengan
pemain-pemain asal Eropa. Postur menunjang akan memperbesar peluang timnas
Indonesia menjuarai sesuatu di masa depan.
Timnas Indonesia dengan tinggi rata-rata pemain di kisaran 165 senti (foto: Tribunnews.com) |
Nah, sekarang kita fokus memperbincangkan masalah tinggi
badan.
Berdasarkan Infografis ASEAN DNA, rata-rata pria Singapura
tingginya 171 sentimeter (senti), tujuh senti lebih tinggi dibanding rekan-rekan
di wilayahnya. Sementara perempuan Singapura tingginya 160 senti,
dibandingkan ketinggan rata-rata perempuan di wilayahnya yakni 153 senti. Di
Malaysia, rata-rata pria tingginya 165 senti. Sedangkan perempuan rata-rata
tingginya 153 senti.
Berbeda dengan tubuh orang Indonesia yang lebih kecil.
Rata-rata pria berukuran 158 senti sedangkan perempuan rata-rata tingginya 147 senti (cek sumbernya di sini). Ada pendapat mengatakan jika masalah tubuh pendek ini berkaitan gen warisan
dari leluhur kita sehingga
bangsa kita ditakdirkan memiliki postur tubuh pendek. Meski
disanggar oleh seorang profesor (cek ke sini), Mungkin saja pendapat tersebut benar. Namun rasanya masalah ini bisa kita atasi jika kita
merunutnya dari beberapa aspek.
Langkah ini diambil, agar kita bisa menemukan padangan
ilmiah atas permasalahan tinggi badan penduduk Nusantara. Sehingga, didapati
kesimpulan yang logis dan pemecahan masalah bisa menyusul ditemukan.
Pertama, mari kita pakai sudut pandang ilmu sejarah. Seorang
pengelana Portugis (Portugal
kita menyebutnya kini) bernama Tome Pires pada 1512-1515 menulis laporan berjudul Suma Oriental. Ini
merupakan catatan perjalanannya menuju dunia timur yang meliputi
India, Cina, Jepang, dan Asia Tenggara. Para sejarawan kerap menggunakan
Suma sebagai acuan, lantaran inilah laporan tertua tentang Nusantara di abad ke
16. Nah, dalam kunjungannya ke Nusantara, Pires ini sempat menyambangi Borneo (Kalimantan), Sumatera, dan
Jawa. Dalam salah satu halaman, termaktub kesaksian Pires jika rata-rata
warga lokal(kala itu dia menulis tentang Borneo) yang ia temui
memiliki postur badan yang cukup tinggi.
Berikut kutipannya:
"Borneo is made up of many islands, large and small.
They are almost
all inhabited by heathen, only the chief one is inhabited by
Moors: it
is not long since the king became a Moor. They seem to be a
trading
people, the merchants are men of medium stature, not very
sharpwitted.
They trade dirct with Malacca every year. It is a country
with plenty
of meat, fish, rice and sago."
Suma Oriental (Mc Gill University, 1944), hal. 32.
(http://www.summagallicana.it/lessico/p/Pires%20frontespizio%20Suma%20Oriental.jpg) |
Kutipan di atas merupakan tuturan Pires tentang warga biasa,
sekarang mari kita simak pemaparannya tentang postur tubuh para
bangsawan di Jawa:
"The king of java is a heathen: he is called Batara
Vojyaya. These
kings of Java have a fantastic idea: they say that their
nobolity has
no equal. The Javanese heathen lords are tall and handsome;
they are
lavishly adorned about their person, and have richly
caparisoned
horses."
Ibid (Mc Gill University, 1944), hal. 174.
Dua kutipan tadi mungkin sedikit dari beberapa bukti jika
bangsa kita pernah memiliki postur lebih tinggi, meski pun catatan tersebut
ditulis di abad ke 16. Sekarang kita telusuri permasalahan serupa namun dari literatur
yang lain. Kali ini, saya mencomot kutipan dari buku Jejak Nusantara, Sejarah
Makanan Indonesia tulisan Fadly rahman (Gramedia Pustaka Utama, 2016). Pada
buku yang sama, di masa-masa prakolonial masyarakat Nusantara merupakan bangsa
yang gemar mengkonsumsi daging dan ikan. Dalam halaman 20 dan 22, termuat
mengenai Prasasti Taji (901 Masehi) yang menuliskan banyak menu sajian dari
daging-dagingan yang meliputi kerbau kambing, babi, kijang, ayam, dan ikan.
Meskipun juga, Fadly menolak menyatakan jika makanan dengan protein hewani
lebih banyak disantap daripada makanan yang mengandung protein nabati.
"Minuman dari
sumber nabati (seperti tebu dan palma) lebih dominan daripada dari hewani
(susu). Belum memadainya padang rumput dan belum mantapnya tradisi gembala
hingga abad ke-15 menyebabkan sumber daya daging tidak sebanding dengan
masifnya jumlah ikan dan sayuran..."
Jejak Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia (Gramedia Pustaka
Utama, 2016), hal. 24.
Sementara pada tulisannya di halaman 207, fadly menjabarkan
jika bangsa kita mengalami pergeseran dalam pemilihan bahan makanan. Menu yang
sebelumnya banyak diisi dengan lauk pauk hewani kini bergeser menjadi lauk pauk
berupa biji-bijian. Dari sini kita bisa mulai menyimpulkan, pengaruh dari
asupan gizi terhadap perkembangan masyarakat di era kolonial dan keturunannya
di masa kini.
Pada halaman tersebut, termuat informasi tentang masyarakat
di bawah penjajahan kolonial yang lebih memilih menyembelih sapi-sapi mereka
untuk dijual kepada orang Eropa, sementara mereka sendiri memilih bahan makanan
yang secara ekonomis lebih hemat. Keadaan ekonomi yang sulit pada kurun
1930-1940an menambah beban masyarakat kalangan bawah dalam hal mendapatkan
nutrisi, dan hal ini bisa dilihat dari postur tubuh rata-rata masyarakat waktu
itu.
Hal ini belum ditambah penderitaan di jaman penjajahan
Jepang yang selain membatasi asupan nutrisi penduduk, juga membuat harga jual
hewan ternak menurun drastis (hal. 206). Niat baik pemerintahan Nippon dengan
memberikan pemahaman tentang nutrisi kepada penduduk sipil menjelang Perang Dunia ke-2 juga disusupi
maksud lain yang tidak bertujuan untuk meningkatkan kekuatan tubuh (hal 209).
Padahal, di pengujung abad k-19 ketersediaan bahan baku
daging berupa hewan ternak seperti kerbau dan sapi sudah terbilang tinggi (hal,
76). Demikian halnya dengan perkembangan ilmu makanan, seiring bertambahnya
angka melek huruf di kalangan pribumi, pengetahuan tentang ilmu makanan
berbanding lurus dengan maraknya buku-buku masak di pertengahan abad ke-19 (hal.
89).
Penjabaran di atas mencoba memberikan pantikan, agar kita
mulai membuka mata tentang pentingnya nutrisi untuk perkembangan tubuh kita dan
keluarga. Mengetahui jika leluhur kita di masa lampau ternyata memiliki cirri-ciri
fisik yang lebih baik seharusnya menyadarkan kita, jika ada yang salah dengan
pola hidup saat ini. Artikel yang disinggung pada awal paragraf seharusnya
mulai menggugah kita untuk mencari tahu, apakah cara kita membahagiakan
keluarga selama ini sudah meliputi asupan gizi yang baik? Atau baru sebatas
kebahagiaan bendawi?
Tulisan pendek yang bersahaja ini semoga bisa menjadi bahan perenungan kita bersama. Tabik.
Comments
Post a Comment