Menantikan Jose Menjawab Mimpi


Jose Mourinho sukses memberikan Piala Liga, namun saya masih belum yakin dia akan berjaya di Manchester United. Setidaknya ketidakpercayaan saya ini berlangsung ketika ia belum ada setahun menukangi MU. Saya tak bisa mengatakan MU hanya cocok ditangani Sir Alex Ferguson, namun sebagai pecinta MU garis keras (saya katakan garis keras karena tidak ada sepakbola yang saya tonton bahkan dukung kecuali MU), rasanya United sedang menuju ke arah berbeda.

Lupakan perkataan Mou tentang pemecatan Claudio Ranieri oleh manajemen Leicester City, dimana Jose mencibir manajemen klub sepakbola modern yang cenderung berpikir pendek dan pragmatis. Dunia sedang beranjak, meliputi sepakbola, namun apakah kesuksesan sebuah tim hanya bisa dicapai dengan cara berpikir pragmatis? Saya pribadi menjawab tidak.

Semua butuh filosofi, dan yang sedang dibangun Mourinho jelas-jelas bertentangan dengan akar yang sudah ditanam Sir Alex di jamannya dulu. Mou tidak menghargai pemain muda, terutama mereka yang jelas-jelas butuh dukungan ketika sekali waktu tampil buruk. Oke, tentu pikiran kita mengarah ke nama Marcus Rashford, tapi saya tekankan, Rashford adalah pengecualian. Mourinho melihat bintang benderang di masa depan Marcus. Sejak awal kemunculannya bocah ini memang sedikit spesial sehingga masa depannya sudah bisa diprediksi, dan banyak contoh serupa di masa lalu.

Nama-nama binaan akademi semacam Adnan Januzaj, Timothy Fosu Mensah, Cameron Borthwick-Jackson, Sam Johnstone harus menunggu lebih lama untuk bisa tampil di gelanggang. Mou dengan pragmatismenya lebih menyukai pemain matang macam Paul Pogba (yang harus dibayar mahal untuk kembali) dan Zlata Imbrahimovic (yang moncer namun semakin menua).

Sila sangkal pendapat saya, toh saya tidak akan menyangkal balik. Justru dalam titik ini saya berada di sisi Jose. Ia tidak bisa disalahkan, manajer mana pun akan mencari aman demi memuaskan bos-bos mereka yang di dalam kepalanya hanya ada untung, untung, dan untung. Sejak menukangi Chelsea pertama kali, Jose sudah paham benar apa yang harus ia perbuat di hadapan Roman Abramovich yang terang-terangan mengincar kejayaan di waktu singkat.

"Saat pertama kali datang ke London, Roman babar blas tidak tahu tentang sepakbola. Tapi dalam beberapa tahun, ia jago sekali tentang dunia bal-balan itu seperti apa," ucapan mantan asisten pelatih Chelsea, Frank Arnesen, sudah bisa menggambarkan betapa ambisiusnya orang Yahudi Rusia keturunan Lituania itu.

Tidak heran Mourinho belanja besar-besaran waktu itu, termasuk memboyong beberapa pemain asal Porto yang membantu mengerek namanya di tim asal Portugal itu. Terbukti, Jose membawa The Blues juara liga di musim pertamanya. Buah dari pragmatisme.

Manajemen sepakbola berubah, seharusnya filosofinya tidak. Tulang punggung permainan ini adalah pemain, dan pemain bagus terlahir dan kebijakan pelatih. Menjadi Manchester United adalah menjadi tim yang mengedepankan aspek internal, dalam hal ini pemain binaan sendiri, bukan mengekor apa yang selalu dilakukan raksasa Spanyol Real Madrid atau si tetangga berisik Manchester City belakangan ini. Kita bisa berharap Mourinho mengembalikan kejayaan MU namun menginginkan suami dari Mathilde itu agar menjadi Sir Alex adalah mustahil. Saat ini yang bisa ditunggu adalah bagaimana lelaki yang mirip George Clooney ini memberikan trofi-trofi yang masih mungkin direbut musim ini.
Paul Pogba dibeli mahal demi menuntaskan hasrat pragmatis manajemen klub (foto: 90min.com)

Leicester City musim lalu adalah contoh, buah dari pemikiran sederhana Ranieri tentang tim kolektif yang tidak mendasarkan prestasi melulu berasal dari dana melimpah. Sayang, kegemilangan itu kemudian dihempas oleh cara berpikir, yang lagi-lagi, cenderung pragmatis. Ugh..

Untuk ke depannya, saya tidak berani banyak bermimpi. Keinginan menyaksikan United seperti di bawah racikan tangan dingin Sir Alex akan selalu ada, namun hati ini belum yakin jika yang bisa menjawab mimpi saya adalah Jose Mourinho.

Comments

Popular posts from this blog

Disiplin Diri

Gunung

Piala Dunia